Wed, 06 Aug 2008 19:36:35
-0700
oleh: Rocky Gerung
Ekonomi Indonesia, kendati harus bekerja dalam tekanan imperatif global,
sesungguhnya tidak pernah hanyut sepenuhnya dalam arus besar ekonomi pasar.
Kita terus merasakan semacam dualisme pikiran dalam berbagai kebijakan ekonomi
pemerintah, yaitu antara tuntutan global efficiency dan berbagai pertimbangan
local wisdom. Memang, berbagai indikator makro harus kita ukur dalam
besaran-besaran efisiensi global, tetapi dimensi keadilan sosial juga
selalu menuntut semacam politik pemihakan pada ekonomi kebutuhan pokok (basic
needs). Dimensi etis ini mungkin merupakan sisa-sisa sosialisme dalam sejarah
pemikiran sosial bangsa ini, yang sesekali muncul manakala disparitas
kemakmuran terasa terlalu melebar. Atau barangkali hal itu merupakan reaksi
instingtif sebuah negara post-colonial yang ingin mengartikulasikan politics of
difference dalam politik internasional.
Tetapi apapun alasannya, dunia memang sedang berada dalam ketegangan ideologis
akibat krisis energi. Ketegangan itu membangkitkan ulang sentimen disparitas
global, yaitu anggapan umum bahwa ekonomi dunia telah dikendalikan oleh
konspirasi politik neo-liberal, dengan akibat katastrofik pada perekonomian
dunia secara keseluruhan. Dalam kondisi psiko-politik seperti ini, problem
kebijakan publik tidak dapat lagi diargumentasikan melalui sejumlah keterangan
metodologis, karena dalam kondisi susbsistensi, masyarakat hanya mau mendengar
sebuah kebijakan yang memihak pada kebutuhan pokok. Parameter-parameter
efisiensi global yang didukung dengan keketatan komputasi metodologi menjadi
tidak berbunyi ketika dimensi ideologi dari keadilan muncul sebagai tuntutan
politik umum.
Pada tingkat politik semacam ini, sikap defensif pemerintah, yaitu dengan
alasan eksternalitas global, dalam mempertahankan kebijakannya, akan berhadapan
dengan tuntutan populer yang justru akan mempersoalkan definisi efisiensi yang
mendasari kebijakan-kebijakan makronya. Dalam kondisi suhu politik yang tinggi,
menjelang Pemilu misalnya, tuntutan-tuntutan populer itu dapat beralih menjadi
upaya delegitimasi yang sistematis terhadap pemerintah. Dengan kata lain, semua
proposal publik yang diajukan pemerintah untuk mengatasi inefisiensi ekonomi,
justru akan menjadi bumerang selama problem kebutuhan pokok publik tidak dapat
diatasi secara cepat.
Dihitung dari kondisi ekonomi sekarang, secara teknis sangat sukar bagi
pemerintah untuk menggunakan politik anggaran sebagai peralatan untuk meraih
ulang legitimasinya. Bukan saja karena APBN sudah hampir habis digunakan,
tetapi terlebih lagi karena suhu politik yang tinggi akan
mendominasi percakapan publik menjelang Pemilu. Disamping itu, kebijakan
pengendalian inflasi dan penyerapan tenaga kerja, juga akan sangat tergantung
pada kondisi ekonomi di tingkat global.
Kondisi umum kesulitan ekonomi memang belum eksplisit menjadi keresahan sosial.
Pengamatan empiris justru menunjukkan geliat ekonomi yang didorong konsumsi.
Tetapi pengetahuan pemerintah tentang daya tahan sosial masyarakat tidak
mungkin diekstraksi dari angka-angka konsumsi-konsumsi yang rapuh itu.
Masalahnya adalah bahwa tuntutan lapangan kerja tetap merupakan problem yang
berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi. Dan faktor dasar dari pertumbuhan itu
adalah kesiapan infrastrukur dan suplai energi. Sekali lagi, masalah ini
melibatkan kompleks perdebatan ideologis antara imperatif efisiensi global dan
historisitas paham keadilan pada bangsa ini.
Kampanye panjang menjelang Pemilu 2009 nanti, agaknya akan sekaligus menjadi
ajang perselisihan ideologis sekitar isu keadilan sosial. Duduk perkaranya akan
dipertajam oleh kondisi kita hari-hari ini: seberapa adaptif kita terhadap
parameter efisiensi global, dan seberapa kuat sentimen sosialistis masih
menetap dalam pikiran politik bangsa ini. Inilah sebetulnya kesempatan historis
kita untuk merumuskan ulang arah masa depan kita. ***
(Tulisan ini untuk mengenang almarhum Sjahrir (1945-2000), seorang ekonom yang
selalu menyampaikan analisisnya dalam konteks "keadilan sosial". Judul
disertasinya di Universitas Harvard sudah menyiratkan dimensi ini: "The
Political Economy of Basic Needs")
*
oleh: Rocky Gerung
Ekonomi Indonesia, kendati harus bekerja dalam tekanan imperatif global,
sesungguhnya tidak pernah hanyut sepenuhnya dalam arus besar ekonomi pasar.
Kita terus merasakan semacam dualisme pikiran dalam berbagai kebijakan ekonomi
pemerintah, yaitu antara tuntutan global efficiency dan berbagai pertimbangan
local wisdom. Memang, berbagai indikator makro harus kita ukur dalam
besaran-besaran efisiensi global, tetapi dimensi keadilan sosial juga
selalu menuntut semacam politik pemihakan pada ekonomi kebutuhan pokok (basic
needs). Dimensi etis ini mungkin merupakan sisa-sisa sosialisme dalam sejarah
pemikiran sosial bangsa ini, yang sesekali muncul manakala disparitas
kemakmuran terasa terlalu melebar. Atau barangkali hal itu merupakan reaksi
instingtif sebuah negara post-colonial yang ingin mengartikulasikan politics of
difference dalam politik internasional.
Tetapi apapun alasannya, dunia memang sedang berada dalam ketegangan ideologis
akibat krisis energi. Ketegangan itu membangkitkan ulang sentimen disparitas
global, yaitu anggapan umum bahwa ekonomi dunia telah dikendalikan oleh
konspirasi politik neo-liberal, dengan akibat katastrofik pada perekonomian
dunia secara keseluruhan. Dalam kondisi psiko-politik seperti ini, problem
kebijakan publik tidak dapat lagi diargumentasikan melalui sejumlah keterangan
metodologis, karena dalam kondisi susbsistensi, masyarakat hanya mau mendengar
sebuah kebijakan yang memihak pada kebutuhan pokok. Parameter-parameter
efisiensi global yang didukung dengan keketatan komputasi metodologi menjadi
tidak berbunyi ketika dimensi ideologi dari keadilan muncul sebagai tuntutan
politik umum.
Pada tingkat politik semacam ini, sikap defensif pemerintah, yaitu dengan
alasan eksternalitas global, dalam mempertahankan kebijakannya, akan berhadapan
dengan tuntutan populer yang justru akan mempersoalkan definisi efisiensi yang
mendasari kebijakan-kebijakan makronya. Dalam kondisi suhu politik yang tinggi,
menjelang Pemilu misalnya, tuntutan-tuntutan populer itu dapat beralih menjadi
upaya delegitimasi yang sistematis terhadap pemerintah. Dengan kata lain, semua
proposal publik yang diajukan pemerintah untuk mengatasi inefisiensi ekonomi,
justru akan menjadi bumerang selama problem kebutuhan pokok publik tidak dapat
diatasi secara cepat.
Dihitung dari kondisi ekonomi sekarang, secara teknis sangat sukar bagi
pemerintah untuk menggunakan politik anggaran sebagai peralatan untuk meraih
ulang legitimasinya. Bukan saja karena APBN sudah hampir habis digunakan,
tetapi terlebih lagi karena suhu politik yang tinggi akan
mendominasi percakapan publik menjelang Pemilu. Disamping itu, kebijakan
pengendalian inflasi dan penyerapan tenaga kerja, juga akan sangat tergantung
pada kondisi ekonomi di tingkat global.
Kondisi umum kesulitan ekonomi memang belum eksplisit menjadi keresahan sosial.
Pengamatan empiris justru menunjukkan geliat ekonomi yang didorong konsumsi.
Tetapi pengetahuan pemerintah tentang daya tahan sosial masyarakat tidak
mungkin diekstraksi dari angka-angka konsumsi-konsumsi yang rapuh itu.
Masalahnya adalah bahwa tuntutan lapangan kerja tetap merupakan problem yang
berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi. Dan faktor dasar dari pertumbuhan itu
adalah kesiapan infrastrukur dan suplai energi. Sekali lagi, masalah ini
melibatkan kompleks perdebatan ideologis antara imperatif efisiensi global dan
historisitas paham keadilan pada bangsa ini.
Kampanye panjang menjelang Pemilu 2009 nanti, agaknya akan sekaligus menjadi
ajang perselisihan ideologis sekitar isu keadilan sosial. Duduk perkaranya akan
dipertajam oleh kondisi kita hari-hari ini: seberapa adaptif kita terhadap
parameter efisiensi global, dan seberapa kuat sentimen sosialistis masih
menetap dalam pikiran politik bangsa ini. Inilah sebetulnya kesempatan historis
kita untuk merumuskan ulang arah masa depan kita. ***
(Tulisan ini untuk mengenang almarhum Sjahrir (1945-2000), seorang ekonom yang
selalu menyampaikan analisisnya dalam konteks "keadilan sosial". Judul
disertasinya di Universitas Harvard sudah menyiratkan dimensi ini: "The
Political Economy of Basic Needs")
Rabu, 31 Maret 2010
Ekonomi-Politik Kebutuhan Pokok
wed Aug 2008 19:36:35 -0700
IDENTITAS DIRI
Langganan:
Postingan (Atom)